B. Sejarah Topeng di Jawa Timur
Cerita klasik Ramayana dan cerita Panji yang berkembang sejak ratusan tahun lalu menjadi inspirasi utama dalam penciptaan topeng di Jawa. Topeng-topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari yang menceritakan kisah-kisah klasik tersebut. Kesenian berbasis Topeng di Jawa Timur. Setiap daerah memiliki karakter topeng yang unik. Seni Topeng Ponorogo dengan penari Reog menggunakan Topeng Barongan yang beratnya bisa 50 kg di kepala dengan mengandalkan kekuatan gigi, menggambarkan sosok Harimau yang pemberani.
Berbeda dengan Malang yang terinspirasi kisah Panji. Sementara seni topeng Sumenep dikenal dengan Topeng Dhalang, mengangkat kisah Mahabharata. Adapun cara menampilkannya seni topeng tiap daerah berbeda-beda. Kediri memiliki seni topeng Panji yang mungkin saat ini sudah jarang dijumpai. Dongkrek Madiun cenderung ditampilkan untuk upacara tolak bala. Seni topeng Panji Tengger masih dapat dijumpai di Probolinggo dan Lumajang. Madura terdapat seni topeng Dhalang. Dan kemudian Topeng Dhalang berkembang menjadi Topeng Kerte di Situbondo dan Bondowoso. Di Tuban, jenis kesenian topeng yang berkembang bernama thak-thakan, berupa pertunjukan arak - arakan.
Muksin, Muksin (2021) TOPENG BARONGAN BLORA: Konsep Pengembangan Bentuk. S3 thesis, ISI Surakarta.
Topeng Barongan Blora merupakan salah satu kesenian tradisional yang berkembang hampir di seluruh wilayah kecamatan Kabupaten Blora. Setiap kecamatan memiliki varian bentuk topeng Barongan yang mengalami perkembangan signifikan. Ada dua kategori topeng Barongan, yaitu topeng kawak untuk fungsi ritual dan topeng kreasi baru (pakem dan kreasi) untuk fungsi pertunjukan dan mainan anak/suvenir. Sampai saat ini belum ada yang membahas mengenai perkembangan bentuk, ciri khas, dan nilai estetik topeng Barongan secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perkembangan bentuk serta merumuskan konsep pengembangan topeng Barongan Blora. Konsep pengembangan ini merupakan factor yang sangat penting dalam menjadikan topeng Barongan sebagai komoditas. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif menggunakan cara atau model riset grounded. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, telaah dokumen, dan studi pustaka. Data yang terkumpul dianalisis secara interaktif melalui reduksi data, penyajian data, dan pembahasan, serta menarik kesimpulan sebagai hasil penelitian. Hasil penelitian meliputi: 1) Peta budaya mengenai keberadaan topeng Barongan Blora berdasarkan latar belakang mitos, sejarah, fungsi, bentuk dan mediumnya, serta aktivitas dan cara pandang masyarakat Blora, 2) Karakteristik topeng Barongan Blora yang mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang cukup signifikan, dimulai dari ide dasar dan berbagai bentuk topeng Barongan lama (kawak) hingga topeng Barongan baru (kreasi baru) termasuk untuk suvenir, terkait dengan ciri khasnya. 3) Data perkembangan topeng Barongan Blora berdasarkan fungsi, medium (bahan), serta jenis dan bentuknya sebagai kreasi artistik. 4) Temuan konsep pengembangan topeng Barongan Blora adalah: fungsi sebagai pemicu komoditas dengan tidak meninggalkan ciri khasnya. Hasil penelitian berupa konsep pengembangan topeng Barongan Blora sebagai komoditas dalam komoditisasi inovasi produk alternatif, melalui: 1) aplikasi perwujudan kepala, gigi taring, gusi, hidung, mata, dan rambut, merupakan ciri khas inovasi pengembangan; 2) aplikasi perwujudan terpengaruh oleh fungsi arak-arakan dan pertunjukan, topeng berkembang dan menjadi komoditas; 3) aplikasi perwujudan terpengaruh kenyamanan pakai untuk arak-arakan maupun untuk pertunjukan sebagai komoditas. Penelitian ini memiliki kontribusi dalam peningkatan apresiasi kesenian tradisional yang sejenis, serta dapat menjadi acuan dalam pengembangan bentuk topeng Barongan Blora ke depan.
Kebo-Keboan, Banyuwangi
Kebo-Keboan merupakan salah satu upacara adat yaitu berubah menjadi kebo Banyuwangi. Sesuai namanya, Kebo-Keboan dilakukan dengan berubah menjadi kerbau. Namun, kerbau yang digunakan bukan kerbau sungguhan, melainkan manusia yang berubah menjadi kerbau. Dengan dikutuk oleh masyarakat. Upacara adat tersebut sudah adat sejak 300 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Kebo-Keboan biasa dilakukan di awal bulan Suro, penanggalan Jawa. Tujuan dari upacara adat ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas hasil panen yang melimpah dan merupakan doa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat menghasilkan panen yang melimpah. Terdapat dua desa di Banyuwangi yang masih melestarikan tradisi Kebo-Keboan. Desa tersebut adalah Aliyan dan Alasmalang. Tujuan dan fungsinya sama, yang membedakan adalah alur penyajiannya. Di desa Aliyan seluruh ritual masih dilakukan secara aturan adat, sedangkan Kebo-Keboan di desa Alasmalang merupakan imitasi yang dilakukan dengan tujuan pariwisata. Kerbau mempunyai simbol sebagai tenaga andalan bagi petani. Binatang kerbau merupakan binatang yang lekat dengan kebudayaan agraris. Dalam kehidupan agraris, kerbau dan sapi, merupakan binatang yang membantu petani dalam mengolah lahan sawahnya. Bahkan dalam mengolah sawah kerbau dianggap lebih kuat daripada sapi. Binatang kerbau di berbagai wilayah di Indonesia menjadi binatang penting dalam ritual adat. Dari asalnya kebo kenanga ini sangat lah istimewa dalam tradisi Banyuwangi.
Adapun kesimpulan dari kajian ini adalah kesenian Topeng berkembang pesat di Jawa Timur, ditandai dengan perseberan kesenian di seluruh wilayah Jawa Timur dengan kearifan local dan kekhasan pada masing-masing daerah.
Kajian ini tentulah masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya sangat membutuhkan kontribusi kritik dan saran dari pembaca agar dijadikan sebagai intropeksi bagi kajian ini untuk menjadi lebih baik lagi. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat untuk mendukung dan membantu agar kajian ini dapat terselesaikan.
Murgiyanto, S.M. 1980. Topeng Malang. Jakarta: Proyek Sasana Budaya
Poerwanto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soelarto, B. Topeng Madura. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Suanda, Endo. 2005. Topeng. Jakarta: Lembaga Pendidikan Nusantara
Tusan, I.N. 1991. Topeng Nusantara. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan
Wardana, I.M. 1993. Topeng Koleksi Museum Negeri Propinsi Bali. Bali: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
(http://eprints.uny.ac.id/4092/1/ARTIKELMurni, Endri Sintiana, dkk. 2016. Topeng Seni Barongan Di Kendayakan Tegal: Ekspresi Simbolik Budaya Masyarakat
Countean, Jean. 2018. Tradisi Dan Seni Budaya: Problrmatik Dan Peluang. [online]. http://seminarsedesa.um.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/KEY-3-Jean-Couteau.pdf.
Sugiarto, Eko. 2015. Kajian Interdisiplin dalam Penelitian Pendidikan Senirupa:
Substansi Kajian dan Implikasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Seni Selengkapnya
Oleh: Risa Nopianti (BPNB Jabar)
Tari topeng merupakan kesenian yang lahir dan berkembang di sekitar wilayah Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Tarian ini disebut Tari Topeng karena penari menggunakan topeng atau kedok sebagai asesoris tariannya, yang berfungsi untuk menutupi wajah penari. Penggunaan topeng ini juga terkait dengan jenis tarian yang dimainkan, yang tentunya sesuai dengan karakter topeng atau kedok yang dipergunakan.
Tari topeng merupakan jenis tarian rakyat yang hidup di desa-desa di Cirebon dan sekitarnya. Versi lain menyebutkan bahwa kesenian ini berasal dari Jawa Timur, yang tersebar ke Cirebon pada masa pemerintahan kerajaan Jenggala (abad 10-11 M). Hal tersebut tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-17 yang membatasi kesenian di Keraton Cirebon. Dengan demikian banyak para seniman yang akhirnya memilih untuk pulang kampung dan menjadi seniman jalanan dengan mengembangkan seni topeng ini di daerahnya masing-masing. Sejak saat itulah, tari topeng secara organik berkembang ditengah masyarakat kebanyakan bukan di lingkungan keraton.
Keberadaan tari topeng di wilayah Cirebon terjadi seiring dengan periode awal penyebaran agama Islam di kota tersebut. Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran Agama Islam, Sultan Cirebon Syekh Syarif Hidayahtulah yang juga seorang anggota Wali Songo bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakan tari topeng dan enam jenis kesenian lain yaitu, Wayang Kulit, Gamelan, Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan sebagai alat penyebaran Agama Islam. Selain itu kesenian-kesenian tersebut juga diciptakan sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai estetis, sehingga dapat digelar di lingkungan Keraton.
Dalam perkembangannya pada masyarakat, Topeng Cirebon kemudian memperoleh dan memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik dengan menampilkan beberapa jenis tarian berbeda disesuaikan dengan kedok yang digunakan. Sesuai dengan urutannya tari Topeng Cirebon terdiri dari tari Topeng Panji, tari Topeng Samba, tari Topeng Rumyang, tari Topeng Temanggung dan tari Topeng Kelana atau Rahwana. kelima jenis topeng ini kemudian dikenal dengan nama Panca Wanda (lima rupa).
Kelima purwa rupa Topeng Cirebon ini memiliki keunikan dan cerita yang mendasarinya sendiri-sendiri. Filosofi lima purwa Topeng Cirebon mengandung makna siklus hidup manusia. Pada masa kanak-kanak disimbolkan dengan Topeng Panji, yang memiliki rupa dan gerakan tari yang lembut layaknya anak-anak. Beranjak remaja Topeng Samba menjadi perwakilan masa hidup manusia yang lincah dan penuh rasa ingin tahu. Topeng Rumyang mewakili siklus hidup manusia dewasa, rupanya yang bersemu merah menandakan kedewasaan, begitu pula gerakannya yang semakin mantap menunjukkan manusia yang mendekati kemapanan. Adapun Topeng Temanggung menceritakan siklus kehidupan manusia yang telah menginjak pada masa kematangan dan kemapanan sempurna, hal ini ditandai dengan rupanya yang menggambarkan seseorang yang telah mencapai puncak kedewasaan, dan gerakan tari dari Topeng Temanggung yang sangat dinamis.
Tari topeng Kelana sering pula disebut topeng Rowana. Sebutan itu mengacu pada salah satu tokoh yang ada dalam cerita Ramayana, yakni tokoh Rahwana. Secara kebetulan, karakternya sama persis dengan tokoh Kelana dalam cerita Panji. Di Cirebon, topeng Kelana dan Rawana kadang-kadang diartikan sebagai tarian yang sama, namun bagi beberapa dalang topeng, misalnya Sujana Arja dan Keni Arja dari Slangit; Sutini dari Kalianyar; dan Tumus dari Kreo; membedakan kedua tarian tersebut dari kostumnya. Sekalipun kedok yang digunakan hampir mirip, dan kostum yang digunakan juga sama yaitu kostum irah-irahan atau makuta. Hanya saja kostum Rahwana menggunakan detail badong atau praba pada bagian kepala dan punggungnya seperti kostum wayang wong, sedangkan kostum tari Kelana tidak menggunakan badong.
Berbeda dari topeng-topeng sebelumnya yang memfilosofikan siklus kehidupan manusia, Topeng Kelana, adalah jenis topeng yang menggambarkan seseorang yang sedang marah. Tari Topeng Kelana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, ditandai dengan warna merah dari kedoknya. Tariannya sangat bertenaga dan bersemangat, sehingga lebih disenangi oleh penonton dibanding dengan tari topeng jenis lainnya. Gerak tarinya menggambarkan seseorang yang tengah marah, mabuk, gandrung, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya. Lagu pengiringnya adalah Gonjing yang dilanjutkan dengan Sarung Ilang.
Struktur tarinya seperti halnya topeng lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang belum memakai kedok) dan bagian ngedok (tari yang memakai kedok). Beberapa dalang topeng, misalnya Rasinah dan Menor (Carni), membagi tarian ini menjadi dua bagian. Bagian pertama, adalah tari topeng Kelana yang diiringi dengan lagu Gonjing dan sarung Ilang. Bagian kedua, adalah Kelana Udeng yang diiringi lagu Dermayonan.
Beberapa nama yang pernah menuliskan tentang Sejarah Desa Barongan adalah : Retsa Insantia , Supani , beberapa nama anonim yang menuliskan di media sosial serta di tambah oleh tutur tinular beberapa tokoh tokoh masyarakat dari berbagai versi maka seperti inilah beberapa gambaran sejarah berdirinya Desa Barongan Kecamatan Kota Kabupaten Kudus
Versi pertama menyebutkan seorang wali Allah bernama Abdurahman ( wallahu a’lam ) yang berasal dari Ngerum ( sebuah daerah di Timur Tengah ). Beliau masuk ke Indonesia pada abad 11. Beliau juga diangkat sebagai penasehat para wali. Beliau masuk ke Indonesia dengan tujuan awal menuju Majapahit yang pada masa itu merupakan pusat pemerintahan serta kebudayan yang maju di jamannya . Awal tujuan terlebih dahulu adalah belajar bahasa. Setelah selesai belajar bahasa, kemudian beliau masuk ke Jepara yang juga sebuah negeri maritim yang maju dan elanjutnya Beliau melanjutkan perjalanan ke Kudus.
Setelah sampai di Kudus, beliau mulai mensyiarkan agama islam. Sampai akhirnya, beliau berada di sebuah desa yang sekarang bernama desa Barongan. Setelah lama mensyiarkan Islam, beliau diketahui meninggal di bawah hutan pring( bambu )besar yang pada jaman dahulu pohon ini dinamakan “Barong”. Dari situlah nama desa Barongan diambil dan sang wali terkenal dengan nama Mbah Kyai Barong .
Versi kedua mengatakan bahwa mbah Barong berasal dari kerajaan Majapahit yang kemudian mulai mensyiarkan agama Islam sambil berdagang.
Mbah Kyai Barong dikenal sebagai guru besar sunan Kudus dan sunan Muria. Saat beliau mensyiarkan agama di daerah tersebut, banyak orang yang tertarik terhadap ajaran-ajarannya. Ketertarikan itulah, mengakibatkan banyak orang yang mengikuti dan menjadi murid Mbah Kyai Barong untuk memperdalam agama Islam. Murid-murid beliau ini berasal dari beberapa daerah di kota Kudus. Saat belajar mereka sangat tertarik dengan salah satu agama yang disyiarkan beliau. Beliau wafat tidak diketahui secara pasti. Namun, letak makamnya itu di bawah pohon “Pring” (bambu) yang besar. Pohon pring yang besar itu namanya “Barong”. Sehingga beliau dikenal dengan nama “Mbah Kyai Barong”. Letaknya di bawah pohon pring karena dulunya daerah mulai dari Nitisemito sampai Kaligelis terdapat banyak pohon pring yang sangat lebat. Kemudian sebelum wafat, beliau berpesan kepada muridnya untuk menamakan tempat tersebut dengan sebutan desa “Barongan”. Jadi, dinamakan desa Barongan itu bukan karena terdapat banyak barongan (kesenian) di daerah tersebut, melainkan karena letak makam wali tersebut di bawah pohon pring yang besar yaitu “Barong”.
Burhan Nurgiyantoro (dalam Makaryk, 1995: 596) mengemukakan bahwa mitos merupakan cerita masa lampau yang dimilki oleh bangsa bangsa di dunia. Mitos dapat dipahami sebagai sebuah cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supernatural yang lain, juga sering mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan dewa.
Beberapa mitos yang menyevar di Desa Barongan :
Larangan mengambil benda-benda di makam.
Setiap desa biasanya memiliki mitos tersendiri. Begitu pula dengan desa Barongan. Di desa barongan terdapat beberapa mitos:
Berdasarkan hasil angket yang telah disebar, ada 65% warga yang mengatakan biasa saja mengenai mitos tersebut. Maksudnya, dari ketiga mitos tersebut tergantung sugesti yang diyakini seseorang. Untuk larangan menyembelih ayam putih mulus bagi warga yang sudah mengetahui biasanya dilaksanakan karena memang sudah terbukti jika ayam tersebut disembelih dan di masak maka ayamnya tidak akan matang. Namun hal tersebut tidak membuat warga meyakini semuanya, karena hal tersebut bersifat sugesti. Sedangkan perintah berziarah ke makam Mbah Kyai Barong sebelum menetap tinggal di desa tersebut, tidak dijadikan sebagai keyakinan bahwa hal tersebut harus dilaksanakan. Perlu diketahui, di desa Barongan ada yang beragama non muslim juga, sehingga mereka juga tidak meyakini untuk berziarah karena tidak ada perintah dalam agamanya. Bagi orang muslim perintah berziarah merupakan hal yang biasa saja karena hal tersebut memang diperintahkan dalam agamanya dan sebagai bentuk penghormatan pada orang yang sudah meninggal. Serta untuk mitos yang ketiga tentang larangan mengambil benda-benda yang ada di makam Mbah Kyai Barong memang benar, karena mengambil barang yang bukan milik sendiri memang tidak boleh.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa desa Barongan memiliki tiga mitos, yaitu larangan menyembelih ayam putih mulus, perintah berziarah di makam Mbah Kyai Barong, dan larangan mengambil benda apapun yang ada di makam Mbah Kyai barong. Dari ketiga mitos tersebut, masyarakat ada yang percaya ada juga yang tidak. Karena perlu diketahui bahwa mitos itu sifatnya sugesti (tergantung kepercayaan orang itu sendiri). Sehingga hukuman jika melanggar mitos tersebut bisa dirasakan bagi yang memang percaya akan mitos tersebut.
Berdasarkan teori, bahwa dongeng rakyat merupakan cerita masa lampau yang diceritakan oleh orangtua kepada anaknya secara lisan dan turun-temurun sehingga selalu terdapat variasi penceritaan walau isinya kurang lebih sama (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 22).
Di desa Barongan mempunyai dongeng rakyat yang diceritakan secara turun-temurun. Dongeng yang ada di desa Barongan yaitu:
Pada zaman dahulu, di desa Barongan ada sosok seorang ulama yang bernama Mbah Kyai barong. Beliau itu orangnya baik, hidupnya sederhana, tidak membedakan antara orang yang kaya dengan yang miskin. Beliau di desa Barongan itu mengajarkan agama islam. Beliau juga memiliki seekor harimau yang sampai sekarang diwujudkan dalam bentuk kesenian Barongan. Sekarang Mbah Kyai Barong sudah meninggal dan dimakamkan di desa Barongan. Kesederhanaan Mbah Kyai Barong terbukti dari makam beliau yang hanya beralaskan semen dan tidak adanya penutup.
Di desa Barongan ada yang namanya kesenian barongan karena dahulu itu ada sebuah cerita. Pada zaman dahulu Mbah Barong mempunyai seekor harimau. Dari hal tersebut, murid-muridnya tertarik untuk membuat topeng yang berwajah harimau (macan). Topeng tersebut dimainkan oleh murid-murid Mbah Kyai Barong dengan diiringi musik gamelan. Sampai sekarang permainan tersebut dikembangkan oleh penduduk desa Barongan yang dikenal dengan kesenian barongan. Warga desa Barongan ketika mempunyai acara, ada yang menyewa kesenian barongan untuk dimainkan sebagai bentuk hiburan. Namun, perlu diketahui bahwa kesenian barongan tidak hanya ada di desa Barongan. Di beberapa desa yang ada di Kudus juga mempunyai kesenian barongan yaitu desa Undaan, Ngloram, Nganguk, dan desa Kaliputu. Itulah cerita tentang kesenian barongan di desa Barongan.
Berdasarkan hasil angket yang telah disebar, ada 70% warga mengatakan setuju bahwa kedua cerita tersebut dijadikan sebagai dongeng yang ada di desa Barongan. Selama ini warga desa Barongan hanya percaya bahwa Mbah Kyai Barong adalah seorang Kyai yang baik, mengajarkan agama islam, hidupnya yang sederhana, dan tidak membedakan antara orang yang kaya dengan yang miskin. Cerita tentang Mbah Kyai Barong tersebut adalah cerita yang diceritakan oleh warga desa Barongan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Mitos yang berkaitan dengan beliau, warga tidak ingin Mbah Kyai Barong dikaitkan dengan seseorang yang menakutkan bagi warga desa Barongan karena Mbah Kyai Barong adalah orang yang baik. Dongeng rakyat kedua yang ada di desa Barongan yaitu kesenian barongan. Kesenian barongan tidak hanya ada di desa Barongan, tetapi di beberapa tempat lainnya juga dapat dijumpai tentang kesenian barongan. Kesenian barongan dijadikan sebagai dongeng karena mengandung nilai hiburan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk sementara ini dongeng yang terdapat di desa Barongan ada dua yaitu mengenai Mbah Kyai Barong dan kesenian barongan. Mbah Kyai Barong dikenal sebagai orang yang baik, tidak dikaitkan dengan adanya mitos yang berkembang di masyarakat desa Barongan. Karena mitos itu sifatnya menakutkan dan tergantung sugesti seseorang. Sedangkan kesenian barongan menjadi dongeng rakyat juga yang ada di desa Barongan sebagai bentuk cerita hiburan dari orangtua kepada anaknya. Kesenian barongan pun tidak hanya ada di desa Barongan tetapi konon katanya berasal dari desa Sukolilo, Pati yang kemudian masuk ke kota Kudus melewati desa Wonosoco, Undaan menuju desa Ngloram, Wergu, Nganguk, Barongan, dan Kaliputu.
Untuk nilai-nilai yang dapat diambil dari kedua dongeng tersebut yaitu dapat menerapkan karakter dan perbuatan dari sosok Mbah Kyai Barong yang baik, hidup sederhana, tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin, ajaran islam yang disebarkan bagi yang meyakininya pada diri masing-masing. Untuk dongeng yang kedua dapat diambil nilai hiburan yang tergambar dari kesenian barongan tersebut dan mengenai topeng yang berwajah harimau tersebut dapat diartikan sebagai karakter yang gagah dan bijaksana.
Dalam sebuah teori, epos adalah sebuah cerita panjang yang berbentuk syair (puisi) dengan pengarang yang tidak pernah diketahui, anonim. Epos berisi cerita kepahlawan seorang tokoh hero yang luar biasa hebat baik dalam kesaktian maupun kisah petualangan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 22).
Mengenai epos yang berkaitan dengan desa Barongan ada dua yaitu musik barongan dan acara buka luwur.
Bardasarkan hasil angket yang telah disebar, bahwa ada 75% warga mengatakan setuju tentang kedua epos tersebut. Musik barongan berkaitan dengan kesenian barongan yang digunakan untuk mengiringi pementasan barongan. Musik tersebut sebagai salah satu bentuk musik gamelan (Musik barongan terlampirkan dalam bentuk vidio). Sedangkan epos yang kedua tentang buka luwur selalu ada pelaksanaannya setiap tanggal 15 Muharrom. Masyarakat desa Barongan ada yang non muslim, sehingga acara pelaksanaan tersebut hanya diikuti bagi yang memiliki keyakinan terhadap agama islam.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa epos yang terdapat di desa Barongan yaitu ada musik barongan dan tradisi buka luwur. Memang mengenai epos yang ada di desa Barongan tidak ada secara khusus yang membedakan antara desa Barongan dengan desa yang lainnya.
Untuk nilai-nilai dalam epos desa Barongan yaitu tentang musik barongan yang berarti memiliki nilai budaya dan keindahan. Selain itu mengenai tradisi buka luwur berarti memiliki nilai keagamaan, tradisi, dan kebersamaan dalam pelaksanaan acara buka luwur tersebut.
Barongan merupakan suatu desa yang berada di kecamatan kota kabupaten Kudus. Desa Barongan terbagi menjadi lima dukuh yaitu Barongan Utara, Kramat Kecil, Karang Nongko, Kerjanan, dan Dalangan.
Desa Barongan mempunyai legenda, mitos, epos, dan dongeng rakyat. Legenda di desa Barongan yaitu berawal dari kedatangan Mbah Kyai Barong yang berasal dari Ngerum (Makkah). Sebelum masuk ke Kudus, beliau belajar bahasa ke Majahapit. Dan akhirnya beliau meninggal dibawah pohon pring yang besar (Barong), sehingga tempat itu dinamakan desa “Barongan”.
Di desa Barongan terdapat tiga mitos yaitu larangan menyembelih ayam putih mulus sebagai bentuk penghargaan untuk mbah kyai Barong, perintah untuk berziarah ke makam mbah kyai Barong terlebih dahulu ketika ingin tinggal menetap di Barongan, dan larangan mengambil benda yang ada di makam mbah kyai Barong.
Selain itu desa Barongan mempunyai dongeng yaitu asal mula kesenian Barongan dan cerita tentang Mbah Kyai Barong. Dan cerita tradisonal yang terakhir berkaitan dengan desa Barongan yaitu epos, bahwa di desa Barongan ada dua epos yaitu tradisi kesenian barongan dan tradisi buka luwur.
Sebagai pendukung data yang telah kami dapatkan ketika wawancara dengan beberapa tokoh desa tersebut, kami melakukan penyebaran isian angket . Dari hasil angket tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak warga desa justru tidak mengetahui tentang legenda, mitos, epos, dan dongeng rakyat desa Barongan, karena mereka bukan penduduk asli desa tersebut apalagi warga yang tinggal di dukuh yang jauh dari makam mbah Kyai Barong. Meskipun ada beberapa hasil angket yang kurang sesuai dengan informasi yang kami dapatkan, namun kami mencoba mengambil jalan tengah dalam menyimpulkan data.
Bantengan, Kota Batu
Bantengan merupakan pengembangan dari kesenian Kebo-keboan Ponoragoan yang ada di Ponorogo. Ponorogo yang bersebelahan dengan Madiun sebagai kota berbagai perguruan silat, sehingga banyak pesilat yang berkunjung ke Ponorogo sebagai kota Reog. Seni Kebo-keboan dimaknai sebagai tolak bala dan penyelamat Raja Surakarta Paku Buwana II dari berbagai serangan pemberontak keraton.
Seni Bantengan terdapat proses Trance atau Kesurupan Pesilat dari pegunungan sekitar Mojokerto, Malang dan Batu melihat kesenian Kebo-keboan sehingga berinisatif membuat kesenian serupa tetapi menggunakan bentuk hewan Banteng yang mulai punah di Hutan sekitar Lereng Gunung, dengan tujuan sebagai pengingat Bela Diri dan menarik masyarakat untuk mengikuti Bela Diri Pencak Silat.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Maka Dari itu, sebelum tahun 2000 Bentuk tanduk pada Bantengan selalu menyerupai atau menggunakan Tanduk Kerbau seperti pada seni kebo-keboan di Ponorogo, barulah setelah masuknya internet di pedesaan mulai menggunakan tanduk banteng. Akan Tetapi hingga saat ini masih ada yang menggunkana tanduk Kerbau sebagai cikal Bakal seni bantengan.
Bantengan biasanya ditutup oleh kain warna hitam bertepi merah, seperti Penadon pakaian adat Ponorogo. Bantengan yang berkembang di Mojokerto, Malang dan Batu kini merambah juga dilestarikan di Jombang yang berbatasan dengan Mojokerta hingga Kediri.
Tari Topeng Barongan Kediri
Barongan berasal dari kata "Barong" mendapat akhiran -an. Berarti suatu bentuk atau rupa yang menirukan barong. Barong yang dimaksud adalah Singo Barong yang merupakan legenda rakyat di Kediri. Barong merupakan bentuk yang menyerupai gabungan antara singa dan naga yang biasanya dimaninkan oleh satu orang dalam pertunjukan tari Jaranan di Kediri. Tarian Jaranan diiringi dengan tabuhan gamelan jawa dan sinden. Nama Plok adalah penambahan dari nama Barong yang diberikan oleh pengelola Museum Setiadarma yaitu "Barong Plok", karena pada saat di mainkan atau di pentaskan mengeluarkan suara "plok".
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Barong plok asal Kediri kebanyakan berkarakter mirip menyerupai binatang buaya tetapi juga kadang seperti binatang naga dan singa. Biasanya barong plok asal Kediri di gunakan untuk menyambut tamu-tamu besar dan juga untuk kegiatan spiritual menurut tanggal jawa. Barong plok sendiri hanya di gunakan sebagai tarian tidak sebagai pemujaan atau untuk disembah. Barongan dalam pertunjukan Tari Jaranan ini sangat kental akan kesan magis dan nilai-nilai budaya. Sehingga tidak jarang pada saat pertunjukan para penari mengalami trance atau kesurupan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat jawa pada jaman dahulu akan roh-roh para leluhur. Sehingga masyarakat menjadikan Tari Jaranan ini sebagai alat komunikasi dengan leluhur mereka.
Asal usul barong plok Kediri berawal dari cerita yang berkembang di masyarakat kediri. Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iringiringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun atau Pujonggo Anom dan Singo Barong dalam meminang Dewi Sekartaji. Wujud konkret dari keberadaan cerita Panji ini salah satunya adalah adanya pertunjukan kesenian kuda kepang atau disebut juga kesenian jaranan di Kediri. Barong plok pada kesenian jaranan berwujud tarian dengan memakai kostum yang berupa wujud simbolik dari Prabu Singo Barong. Barong sendiri memiliki nilai estetika dan kepekaan rasa pada yang melihat wujud barong, hal ini dapat dilihat dari bentuk ukiran-ukiran tersebut tidak hanya sebatas hiasan namun memiliki unsur makna yang ingin di sampaikan oleh sang pembuat barongan. Contohnya adalah gambar yang di ukir pada jamang barongan yaitu gambar kala dan nogo jegog, gambar kala atau kalamakara merupakan ukiran yang biasanya berada di bagian atas pintu. Kala biasanya bewujud kepala makluk mitologi yang berupa buto atau raksasa yang memiliki taring dan mata melotot berwujud mengerikan. Kala bermakna sebagai simbol makluk penjaga dan pengawas manusia. Masyarakat jaman dahulu tidak hanya mengartikan sesuatu yang baik akan selalu terlihat baik dan juga sebaliknya yang terlihat buruk justru menjadi simbol kebaikan. Hal tersebut berdasarkan Slamet (2012: 3), keyakinan masyarakat terhadap hal gaib berupa binatang totem bertujuan menghindari mara bahaya untuk dapat melindungi.
Sedangkan naga jegog melambangkan atau simbol dari dunia bawah. Sebelum agama hindu masuk ke Indonesia yaitu pada animisme dan dinamisme terdapat anggapan bahwa dunia ini dibagi menjadi dua yaitu dunia atas dan dunia bawah.Yang masing-masing mempunyai sifat yang berlawanan. Oleh karena itu motif naga jegog terdapat pada jamang barongan yang melambangkan bahwa barongan merupakan simbol dari makluk yang melawan angkara murka di dunia bawah untuk melindungi manusia. Sedangkan dari bentuk jamang yang berbentuk seperti gunungan yang di ukir kerawang (tembus berlubang) melambangkan kemakmuran. Dengan dibuatnya jamang di kepala barongan, masyarakat berharap untuk dilindungi dari unsur-unsur negatif sehingga mendapatkan kemakmuran.
Selain ditinjau dari sejarah dan bentuk fisiknya. Barongan dalam pertunjukan Tari Jaranan ini sangat kental akan kesan magis dan nilai spiritualnya. Sehingga tidak jarang pada saat pertunjukan para penari mengalami trance atau kesurupan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat jawa pada jaman dahulu akan roh-roh para leluhur. Sehingga masyarakat menjadikan Tari Jaranan ini sebagai alat komunikasi dengan leluhur mereka.
Barong plok sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki nilai sejarah tinggi serta visualisasi yang menarik dan unik perlu dipertahankan dan dilestariakan oleh masyarakat dengan dukungan pemerintah. Salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap seni barong plok di Kediri adalah telah dilakukan oleh pemerintah dengan menggelar pekan budaya yang menampilkan tarian 1000 barong, menampilkan kesenian jaranan pada acara-acara penting yang diselenggarakan pemerintah, serta mendukung dan memberi bantuan dana kepada kelompok kesenian jaranan. Maka dari itu diharapkan dapat menarik wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga dapat menambah eksistensi kesenian Barong Plok sebagai warisan budaya Indonesia.
Actions (login required)
%PDF-1.5
%âãÏÓ
526 0 obj
<>
endobj
560 0 obj
<>/Filter/FlateDecode/ID[]/Index[526 62]/Info 525 0 R/Length 147/Prev 703297/Root 527 0 R/Size 588/Type/XRef/W[1 3 1]>>stream
hŞbbd```b``�"§�H¦ ’ƒ
Ì.“òH¤&Xå
ɶD²&ƒHf°ˆ ˜½,.&·€Im°.eÉ"ãƒH5 ÉhVbÇp€H½Y ’Á¬> Ì‘|“À"Z RÆÌ»SüÈ>? ù�a
#Ó\°.ÆAGşg`�}` D®
endstream
endobj
startxref
0
%%EOF
587 0 obj
<>stream
hŞb```¢#¬‚üB ÄÀÂÀÄ\–0,`èËu¸Ò ŞğY~�àêmÒlM@ÊnŞ>“±
¡K Yà‹ §�“@À1[–à@UGÃ[– P'6 Ã7À©ÁÊàùÄ¢pÌVd*‹Â‘°.C~W—É@c:::8::˜TAL& t'ˆd‘, !�A‰�®[®ªb ÄŠ`S~æ0y!¹¶¶;[»¸bø-Ô¸?˜İ(¨šá�ˆwí.ùîëªìHFi+Óö•DSWºóœıÂğæY;®j9pÊxi®éé@š˜iğ qeàÚ±H3#@€ i]T•
endstream
endobj
527 0 obj
<>/Metadata 67 0 R/Outlines 75 0 R/PageLayout/OneColumn/Pages 524 0 R/StructTreeRoot 224 0 R/Type/Catalog>>
endobj
528 0 obj
<>/ExtGState<>/Font<>/XObject<>>>/Rotate 0/StructParents 0/Type/Page>>
endobj
529 0 obj
<>stream
hŞÔYmoÛ6ş+üØ ÈÄwR@ÀqšÔ]�dµ›òA�ÕĘc¶‚5ÿ~w'Q–dËvà Д�Çã‘|î9J6V0ÎŒ•LÄP)¦Ñ òÅK
úÉòoP�¦Ñğu�Ffƒ,ÉÒè!¡~³yŞïäì_-Féb<}|×¥Ólœ½E_ÓÇñ2[¼¾ëŒfßÓ£hğ2ŸOÒghfœút–øàã8êöÎi“óQ7™JÇ�OsFGgi®x,…ˆÎ'Éã’éè|6ÍNOg?ï8É™P&FS÷Ôr�<�'¯ïnÁ£”åQ.ORØPCKL’Ëä9�.®zÿ.Ş—ÊÇàùË$Y�Æ [¤ÙÃSX3İæ®iΣ^–LÆ�éã$e
Alfian, T. Ibrahim “Tentang Metode Sejarahâ€, dalam T. Ibrahim Alfian ed. 1992. Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Barthes, Roland. 1983. Mythology. London: Granada.
Barthes, Roland. 1972. Mithologies dan The Eiffel Tower and Other Mythologies. (Terj. Mahyuddin, Ikramullah. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi). Yogyakarta: Jalasutra.
Djelantik A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta : MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia).
Hoed. Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Iswidayati, Sri. 2006. Pendekatan Semiotik Seni Lukis Jepang Periode 80-90an Kajian estetika tradisional Jepang wabi sabi. Semarang: UNNES Press.
Peirce, Charles S. 1986. Logic as Semiotics: The Theory of Sign, dalam Robert E. Innis (ed) Semiotic: An Introductory Reader. London: Hutchinson.
Redfield, Robert. 1969. The Little Community Pleasant Society and Culture. The university of Chicago Press, London, Chicago.
Sahman. Humar. 1993. Estetika Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Slamet, MD. 2009. Barongan Blora Menari di atas Politik dan Terpaan Zaman. Surakarta: Citra Sains.
Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Wolf, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: St, Martin Press, Inc.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan kajian ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca mengenai topeng.
Harapan kami semoga kajian ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi kajian ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kajian ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan kajian ini.
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Tujuan........................................................................................ 1
C. Manfaat........................................................................................ 2
.................................................................................... 2
A. Sejarah Topeng........................................................................................ 2
B. Sejarah Topeng di Jawa Timur........................................................................................ 4
C. Berbagai Kesenian Topeng di Jawa Timur........................................................................................ 4
BAB III PENUTUP............................................................................................. 19
A. Kesimpulan........................................................................................ 19
B. Saran........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20
Topeng adalah benda yang dipakai di atas wajah. Biasanya topeng dipakai untuk mengiringi musik kesenian daerah. Topeng di kesenian daerah umumnya untuk menghormati sesembahan atau memperjelas watak dalam mengiringi kesenian. Bentuk topeng bermacam-macam ada yang menggambarkan watak marah, ada yang menggambarkan lembut, dan adapula yang menggambarkan kebijaksanaan.
Topeng telah ada di Indonesia sejak zaman prasejarah. Secara luas digunakan dalam tari topeng yang menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita-cerita kuno dari para leluhur. Diyakini bahwa topeng berkaitan erat dengan roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Pada beberapa suku, topeng masih menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari-hari. Beberapa topeng di Indonesia pun digunakan sebagai hiasan di dalam rumah atau di luar rumah.
Tujuan pembuatan kajian ini adalah sebagai berikut:
Menambah sumber kepustakaan yang dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan kajian bagi kaum akademisi mengenai Topeng.
Topeng merupakan suatu benda yang digunakan untuk menutupi wajah sebagai cara untuk mengkamuflase wajah asli sehingga tidak dikenali. Selaras dengan apa disampaikan oleh Suryaatmadja (1980, hlm. 43), “Sebutan lain terhadap topeng yaitu kedok yang asal katanya diperkirakan berarti pelumas, yaitu berupa pupur atau cat yang dipergunakan untuk melumas muka agar tidak dikenal”. Berkaitan dengan pertunjukan, sebenarnya sangat sulit untuk mendefinisikan pengertian topeng, karena topeng terkadang memiliki pengertian yang sempit dan sebaliknya meluas. Seperti yang dijelaskan Suanda (2013, hlm. 3), “Pertunjukan yang memakai topeng seperti wayang wong di Yogyakarta dan di Bali, tidak disebut topeng. Sebaliknya, pertunjukan yang tidak memakai topeng seperti yang sekarang terdapat di sekitar Betawi dan Banten, justru disebut topeng. Artinya, tidak semua pertunjukan bertopeng disebut topeng”.
Hazeu (dalam Suryaatmadja, 1980, hlm. 45) memberi pengertian lain yang lebih spesifik terhadap topeng bawa topeng adalah suatu pertunjukan dimana pria dan wanita tampil mengenakan topeng (masker) di mukanya dengan mengenakan pakaian tertentu (penutup kepala khusus, perhiasan, dan sebagainya), seraya memerankan orang-orang tertentu, kadang-kadang juga binatang. Pengertian tersebut tercetus karena pada zaman dahulu, topeng sejatinya digunakan dalam pertunjukan, khususnya dalam ritual keagamaan. Di daerah-daerah yang penduduknya masih menganut kepercayaan Indonesia asli dan berpusat pada pemujaan nenek moyang, upacara pemanggilan roh nenek moyang diadakan dengan pertunjukan topeng. Sementara itu di beberapa daerah lain yang sudah dipengaruhi ajaran Islam, pertunjukan topeng untuk hal tersebut sudah jarang bahkan hilang. Seiring berjalannya waktu, pertunjukan topeng berubah sifat menjadi bentuk yang lebih sekuler seperti untuk memerankan tokoh tertentu dalam sebuah lakon. Hal ini sejalan dengan pernyataan Borguignon (dalam Murgiyanto, 2004, hlm. 19), “Topeng pada mulanya dikenal untuk menyembunyikan identitas asli pemakainya dan bukan untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sebuah lakon”.
Perubahan bentuk pertunjukan topeng dari yang bersifat sakral menjadi lebih sekuler dimulai ketika cerita Panji yang ditulis pada zaman raja-raja Hindu-Jawa abad ke XIV mulai digunakan sebagai tema lakon. Di Indonesia, khususnya di Jawa, Sunan Kalijaga dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan pertunjukan topeng berdasarkan cerita Panji. “Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga, putra bupati Tuban yang gemar kesenian dan akhirnya menjadi wali penyebar agama Islam di Pulai Jawa” (Murgiyanto, 2004, hlm. 20). Selanjutnya, Murgiyanto.
Tari Topeng atau Wayang Topeng merupakan dramatari yang menceritakan tentang roman Panji. Roman atau Cerita Panji merupakan karya sastra klasik yang cukup dikenal luas oleh masyarakat Jawa, Indonesia, bahkan Asia Tenggara, disamping cerita Ramayana dan Mahabarata. Sebagai karya sastra klasik, cerita ini ditransformasikan ke dalam berbagai karya baru seni dan budaya (Manuaba dkk, 2013:53). Secara historis, Cerita Panji muncul pada tengah pertama abad ke-13, pada masa kerajaan Singosari, namun Winarno & Widyatmoko (1998:241) menyebutkan bahwa seni topeng diperkirakan sudah muncul sejak zaman kerajaan Kediri pada abad ke-12, dan berkembang mulai zaman keemasan kerajaan Majapahit. Relief Candi Penataran yang dibangun pada tahun 1369 yang menggambarkan adegan Panji Kartala oleh Panakawan Prasanta setidaknya dapat menjadi bukti bahwa Cerita Panji sudah populer di Jawa Timur pada abad ke-14 (Sumaryono, 2011:18).
Sesuai dengan bentuknya, Tari Topeng atau Wayang Topeng, menggunakan topeng sebagai salah satu properti dalam pertunjukannya. Sebagai karya seni rupa yang berdiri sendiri, tentunya ia memiliki nilai estetik. Nilai adalah ukuran derajat tinggi-rendah atau kadar yang dapat diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam berbagai obyek yang bersifat fisik (kongkret) maupun abstrak. Immanuel Kant (dalam Kartika, 2004:22-23) membagi dua macam nilai estetik, 1) Nilai estetik atau nilai murni, dan 2) Nilai ekstra estetik atau nilai tambahan. Nilai estetik murni, disebut juga sebagai nilai intra-estetik, atau estetik intrinsik, adalah keindahan murni atau nilai estetik yang terdapat pada garis, bentuk, warna, dalam obyek seni rupa. Nilai ekstra estetis, disebut juga sebagai estetik ekstrinsik adalah nilai tambahan setelah nilai murni, dapat berupa bentuk-bentuk manusia, hewan, tumbuhan, makna filsafati pada simbol-simbol seni (nilai makna), dan lain sebagainya. (2004, hlm. 20) menerangkan tentang penggunaan lakon pada topeng oleh Sunan Kalijaga sebagai berikut.
Tari Topeng Kerte, Situbondo
Topeng Kerte merupakan seni wayang orang yang berkembang di Situbondo pada tahun 1930-an (Bovier, 2002: 120). Nama pendirinya adalah Kertesuwignyo (Hi-dayah dan Tjintariani, 2015 : 106). Istilah Kerte merujuk pada seorang dalang wayang kulit, karena tidak begitu laku maka diganti menjadi wayang kulit ( Wawancara dengan Sukran dalam Hidayatullah, 2018: 41-42). Secara bentuk topeng-topeng yang hadir dalam pertunjukan Kerte juga sangat variatif. Hidayah dan Tjintariani membag-inya menjadi 41 karakter, dengan 22-24 di antaranya sering digunakan dalam pertun-jukannya. Lebih lanjut mereka membagi topeng Kerte menjadi beberapa kelompok, yai-tu Topeng Alos, Topeng Kasaran, Topeng Ksatria, Topeng Potre, dan Punakawan (Hi-dayah dan Tjintariani, 2015 : 103-107).
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Topeng Dhalang Madhura
Di Madura sejak lama dikenal “Topeng Dhalang” (Topeng Dheleng). Diperkirakan pertunjukan ini sudah dikenal sejak abad XV – XVI. Pertunjukan Topeng memainkan karakter tokoh tertentu, baik yang halus, kasar, gagah, lembut, licik, buas, lucu, dan sebagainya.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Tradisi Topeng Dhalang Madura, jadi bagian penting bagi kesenian masyarakat Madura, khususnya di Sumenep, Dalam hajatan, rokatan. Topeng Dalang Madura awalnya dari Jawa, kemudian datang ke wilayah Proppo, yakni wilayah Kabupaten Pamekasan yang berbatasan dengan Kabupaten Sumenep. Dalam pergelarannya, Topeng Dalang berbentuk drama atau tonil dengan mengambil cerita Mahabarata dan Ramayana. Topeng Dalang Madura memiliki kesamaan dengan Topeng Malangan, karena kedua wilayah ini sama-sama pernah menjadi bagian dari Kerajaan Singasasari.
Ada dugaan bahwa Kakawin Ramayana menjadi sumber lakon awal, sebab Kakawin Ramayana digubah pada Zaman pemerintahan Raja Balitung, Tahun 820- 832 Caka (898-910 Masehi). Setelah pusat Kerajaan berpindah ke Jawa Timur, muncul sumber baru seperti Mahabarata (Adiparwa dan seterusnya) yang digubah pada Zaman pemerintahan Raja Dharmawangsateguh (913-938 Caka atau 991-1016 Masehi). Kemudian disusul oleh Sastra Panji yang diperkirakan lahir pada Zaman Kertanegara dari Singasari (1190-1214 Caka atau 1268-1292 Masehi).
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Adapun penggambaran karakter, nampak pada bentuk muka dan warna putih berjiwa bersih dan satria. Merah tenang dan penuh kasih sayang. Hitam arif bijaksana dan bersih dari nafsu duniawi. Kuning mas anggun dan berwibawa. Kuning pemarah, licik dan sombong. Ciri khas yang paling unik dari tari topeng Dalang Madura dipakainya gungseng dipergelangan kaki sang penari.
Reog Ponorogo merupakan cerita tentang Raja dari Kerajaan Bantarangin yang sekarang dikenal sebagai kota Ponorogo. Raja tersebut bernama Kelana Suwandana. Ia berniat melamar putri Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Ragil Kuning yang dijuluki Putri Sanggalangit. Namun saat diperjalanan ia dicegat oleh Raja Kediri yang bernama Singabarong, dengan pasukan bala tentaranya yang terdiri dari burung dan singa.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Sedangkan kala itu, pasukan Kerajaan Ponorogo, Raja Kelana dan Wakilnya Bujanganom dikawal oleh warok. Warok merupakan pengawal Raja yang memiliki kekuatan ilmu hitam yang mampu mematikan lawan-lawan nya. Kemudian terjadilah perang tanding antara kedua Kerajaan. Kedua kubu memiliki kekuatan yang besar, sehingga pertarungan terjadi beberapa hari dan tidak ada yang menang. Mereka pun akhirnya berdamai karena kekuatannya habis.
Akhirnya Raja Kediri menerima lamaran Raja Bantarangin yang melamar putrinya. Pada saat kedua mempelai menikah, pasukan merak dan singa serta warok mengadakan atraksi sebagai sebuah tontonan. Selanjutnya perang-perangan antara merak dan singa melawan warok dijadikan sebuah pertunjukan tarian bernama Reog. Tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Bantarangin yang bernama Ponorogo.
Tokoh - Tokoh Reog Ponorogo :
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Singa Barong berupa kepala harimau, topeng Singa Barong, dan tancapan bulu-bulu merak. Kostum ini terbuat dari kerangka kayu, bambu, dan rotan. Dengan ukuran 2,25 x 2,30 meter, dengan berat + 50 Kg.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Bujang Ganong digambarkan sebagai tokoh energik, kocak, dan memiliki seni bela diri. Topeng Bujang Ganong memiliki mata bulat melotot, gigi tonggos, rambut gimbal, dan hidung besar. Topeng ini digunakan untuk penari Bujang Ganong.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Jathilan adalah penari perempuan yang merupakan prajurit berkuda menggambarkan ketangkasan prajurit menggunakan kuda untuk berlatih. Kuda terbuat dari anyaman bambu disebut eblek atau kuda lumping. Digambarkan sebagai kuda warna putih yang memiliki kedua mata warna merah.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Warok adalah peraga dari kesenian Reog Ponorogo warok di gambarkan sebagai tokoh yang dapat memberi segala sesuatu yang diajarkan atau pengajaran pada orang lain tentang hidup.
C. Berbagai Kesenian Topeng di Jawa Timur
Menurut Hariyono (1988:130), pertunjukan wayang topeng Malangan awalnya berkembang di desa Kedungmoro dan desa Polowijen (Kecamatan Blimbing, Malang, Jawa Timur), disebut dengan topeng Jabung, yang kemudian dikenal sebagai kesenian topeng Malang. Namun Pigeaud (dalam Supriyanto & Adi Pramono, 1997, Hidajat, 2005:270) mengungkapkan bahwa pada akhir abad ke-19 tercatat adanya wayang topeng yang dipertunjukkan di pendopo kabupaten Malang, yaitu waktu pemerintahan A.A. Surya Adiningrat (1898-1934). Ia juga mencatat terdapat perkumpulan wayang topeng di bagian Malang Selatan pada tahun 1930-an, seperti di Sanggreng, Jenggala, Wijiamba, dan Turen.
Wayang topeng Malangan ini mementaskan cerita Panji seperti Sayembara Sada Lanang, Walang Sumirang, Rabine Panji, Laire Nogo Taun, dan Jenggala Mbangun Candi, dimana tokoh-tokoh utama yang sering muncul antara lain, Panji Asmarabangun, Dewi Sekartaji, Raden Gunungsari, Klana Sewandana, dan Bapang Jayasentika. Pigeaud juga melanjutkan, bahwa pada tahun 1956 atau 1957, wayang topeng Malangan juga sering dipertunjukkan di pendopo kabupaten, karena pada saat itu bupati Malang, R. Djapan sangat berminat pada kesenian lokal.
Oleh para ahli kebudayaan (dalam Hariyono, 1988:130), topeng Malangan ini dihubungkan dengan bentuk drama tari bertopeng pada abad ke-12 yang dikenal dengan nama raket, atapukan, atau wayang wang. Karimun, salah seorang ahli waris dari R. Sungging Mubengkoro, yang masih keturunan dari Sunan Brawijaya VII (Raja Majapahit terakhir, 1498-1518) memimpin kelompok topeng Asmorobangun atau Sanggar Asmorobangun yang didirikan sejak tahun 1931 di desa Kedungmonggo, dan mulai dikenal masyarakat luas sebagai pengukir topeng sejak tahun 1970-an. Saat ini mbah Karimoen sudah wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Tri Handoyo, menjadi punggawa Sanggar Asmorobangun.
Onghokham (1972:115-119) mengungkapkan bahwa topeng Malangan disebut sebagai “Malangan” karena memang memiliki ciri khas yang berbeda dengan topeng yang berasal dari Jawa Tengah atau Bali. Topeng yang dikenakan oleh penari/pemain wayang topeng Malangan, ditahan di kepala penari dengan seutas tali yang tersambung pada topeng, bukan menggunakan sepotong kulit yang digigit di mulut.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Berbeda dengan gaya “halus” dari Jawa Tengah, topeng Malang terbuat dari kayu yang tebal dan berat, dibentuk dengan bagian dagu lebih persegi, tulang pipi yang cukup menonjol (tinggi), dan kaya akan ukiran. Mahkota yang terletak di kepala bagian depan juga penuh dengan ukiran yang cukup kompleks (isen-isen). Kumis dari figur yang tergolong “figur gagah”, kurang lebih terdapat 21 figur, selalu diukir, sedangkan pada topeng Jawa Tengah hanya di-cat saja, atau terbuat dari rambut asli atau palsu.
Topeng Malang kebanyakan mulutnya selalu lebih tertutup daripada Jawa Tengah yang lebih terbuka. Tidak hanya pada topeng sebagai properti dalam pertunjukan wayang topeng Malangan, namun pada kostum juga cukup banyak memiliki perbedaan dengan daerah lain di Indonesia, begitu juga dengan struktur pertunjukan wayang, dan juga tarinya, namun perbedaan tersebut akan dijelaskan kemudian karena penelitian ini memang terfokus pada topengnya saja, sebagai aspek rupa/kriya dalam pertunjukan seni tradisi wayang topeng Malangan. Topeng Malangan atau Wayang Topeng merupakan sebuah Tradisi dan Budaya asli Malang. Sejarah Topeng malangan berkaitan erat dengan Kerajaan Kanjuruhan. Budaya ini merupakan hasil asimilasi antara Budaya India dan Jawa-Kanjuruhan, karena pada masa tersebut banyak pedagang dari India yang berdagang diKanjuruhan. Cerita yang sering dikisahkan dalam Wayang Topeng Malangan biasanya adalah cerita pewayangan India, seperti Ramayana dan Mahabarata.
Topeng Malangan memiliki ciri-ciri khas pada pemaknaan bentuk hidung, mata, bibir, warna topeng dan ukirannya. Topeng malangan memiliki 5 warna khas yang memiliki sifat masing-masing. Ada lebih kurang dari 76 Karakter tokoh yang terdapat dalam seni yang berkembang sejak zaman Hindu-Buddha ini. Hingga akhirnya hanya ada enam karakter yang paling menonjol dalam wayang topeng tersebut.
Putih memiliki sifat jujur, suci dan berbudi luhur, serta tulus. Kuning menggambarkan kemulian. Hijau menggambarkan watak yang suka damai. Merah menggambarkan angkara murka, licik, dan keberanian. Hitam menggambarkan kebijaksanaan, ukiran dan ragam kias pada topeng malangan, berupa urna di bagian kuning berupa melati, kantil.
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Indonesian Heritage Museum
Pada topeng yang digunakan untuk menari (pertunjukan wayang topeng), topeng dibuat dengan ukuran normal, dengan ukuran wajar wajah manusia dewasa, karena memang untuk digunakan dalam pertunjukan wayang. Ukiran yang ada pada jambang, jamang, suping juga dibuat cukup detail. Detail pada ornamen (isen-isen) inilah yang membedakan topeng Malangan dengan topeng Jawa Tengah, topeng Malangan lebih kaya akan ornamen/ukiran. Kayu yang digunakan adalah kayu sengon, yang menurut Handaya cukup ringan dan mudah dibentuk, namun cukup tahan lama atau awet. Pada kualitas yang ketiga, topeng dengan pesanan dan fungsi khusus, topeng dibuat secara cermat dengan memperhatikan aspek isoterik dan eksoterik.
Pada topeng jenis ketiga ini, kayu sebagai bahan baku adalah kayu ringin/wit ringin, atau kayu pohon beringin. Kayu tersebut berasal dari sebuah pohon beringin tua yang tumbuh di petilasan leluhur desa Kedungmonggo, yang lokasinya tidak jauh dari sanggar Asmorobangun. Pada saat mengambil kayu di pohon tersebut tidak diperbolehkan menebang, melainkan mengambil kayu/ranting yang telah terjatuh ke tanah karena sebab-sebab tertentu oleh alam, bukan karena dipotong/ditebang oleh manusia, karena angin misalnya. Pada saat proses pembuatan topeng, seniman juga harus melakukan tirakat, seperti puasa mutih, ngebleng, patigeni, atau puasa penuh tanpa makan dan minum. Tidak heran proses pembuatan topeng jenis ini mampu memakan waktu berbulan-bulan, karena memang tidak diproses setiap hari, Handaya harus mencari “hari baik” untuk berpuasa, dan mengerjakan topengnya.
Perlakuan sedemikian rupa pada pra-penciptaan, dan pada saat proses penciptaa, dengan tidak hanya melibatkan fisik (tubuh), namun juga olah batin, dipercaya mampu menghasilkan topeng yang memiliki nilai isoterik. Ukiran yang terdapat pada hiasan dahi (padma, pakis, dll), jamang, dan sumping, dibuat cukup dalam, serta lebih kompleks ornamennya (isen-isen). Bahkan pada jenggot dan jambang, rambut dibuat/diukir satu persatu. Pada proses finishing, kebanyakan untuk topeng jenis ini tidak dilakukan pengecatan, sehingga yang terlihat adalah warna dan tekstur asli dari kayu pohon beringin, berwarna coklat gelap. Secara isoterik, topeng yang dibuat dengan proses sedemikian rupa, dipercaya memiliki kekuatan tertentu yang mampu menjauhkan seseorang, keluarga, atau rumah dari marabahaya. Misalkan pada topeng figur Totok Kerot dan Mahesa Sura, ketika difungsikan sebagai bagian dari elemen dekorasi rumah, dipercaya memiliki fungsi sebagai penolak bala, penolak santet, dan gangguan gaib lainnya, serta dipercaya dapat mendatangkan kesejahteraan, kelancaran rejeki bagi pemiliknya.
Aspek mistik-spiritual lainnya dari proses pembuatan topeng Malangan, yakni mengenai sosok figur-figur yang ada dalam topeng Malangan. Pada saat mbah Karimun wafat, beberapa figur/tokoh belum sempat “ter-rupa-kan” dalam bentuk topeng. Pakem struktur, gaya dan bentuk topeng Malangan, diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk topeng, dan tidak ada deskripsi tertulis mengenai pakem ataupun petunjuk teknis pembuatan topeng, selain tradisi lisan. Bedasarkan sifat atau karakter tokoh yang terdapat pada roman Panji, Handaya melakukan pendalaman terhadap suatu karakter/figur yang belum berbentuk topeng tersebut, dan kemudian melakukan meditasi hingga pada suatu titik ia mengalami peristiwa batin bertemu langsung dan berinteraksi dengan tokoh/figur tersebut.
Pengalaman spiritual Handaya ketika bertemu dengan figur-figur topeng Malangan ini, kemudian ia ekspresikan dalam bentuk topeng. Berdasarkan pengalaman spiritual itu pula Handaya meyakini bahwa figur-figur topeng Malangan ini memang benar-benar ada pada masa lalu, dengan kata lain topeng-topeng tersebut merupakan wajah-wajah leluhur. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa roh-roh leluhur, yang dikenal sebagai dhanyang, melindungi desa Kedungmonggo dari marabahaya, dan ikut menonton pertunjukan wayang topeng Malangan pada gebyak senen legian. Memang beberapa hal menyangkut mistik dan spiritual di atas tidak dapat dibuktikan secara empiris maupunrasional, namun hal ini mengekpresikan pandangan-pandangan spiritual seniman, yang kemudian diwujudkan pada karya seni yang diciptanya.
Dalam seni relijius (religious art), yang nampak pada artefak seni adalah ekspresi ide kolektif tentang relasi manusia dengan keilahian (Tuhan), yang terkadang merasuk kedalam upaya spiritual seorang seniman. Seni relijius menceritakan kisah suci, memerintahkan perilaku yang benar, atau berusaha untuk menguatkankeimanan, namun upaya spiritual seniman berusaha menjadi “wahyu ilahi” di alam manusia dan di dunia (Feldman, 1967:24). Spiritualitas merupakan aspek mental, yang sangat berbeda dengan aspek material, yang lebih spesifik, subyektif, atau sangat personal sifatnya. Proses penciptaan topeng Malangan oleh Handaya, sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman spiritual yang sangat personal.
Tari Topeng Panji Tengger
Tari Topeng Tengger khas Lumajang, Jawa Timur, Tari Topeng yang disertai dengan dialog seorang dalang yang mengisahkan asal mula dilakukannya ritual Kasada Suku Tengger. Upacara Kasada berasal dari Jawa Timur. Upacara ini merupakan salah satu upacara adat dari Suku Tengger yang masih lestari sampai sekarang.